Probolinggo (Inmas) Santri sebutan kaum terpelajar muslim yang mampu menjaga identitasnya. Mereka tercirikan dengan tiga hal berikut; Memperhatikan kewajiban-kewajiban fardhu ‘Ain (al-Ihtimam bil-Furudhil ainiyah), Mawas diri dengan meninggalkan dosa-dosa besar (al-Ihtimam bitarkil kabaair), Berbudi luhur kepada Allah dan Makhluq (Husnul adab ma’allah wa ma’alkholqi) sebagaimana statemen Pendiri dan Pengasuh I Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Al-Maghfurlah KH. Zaini Mun’im yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Trilogi Santri.
Kiprah kaum santri sudah sangat teruji dalam mengokohkan pilar-pilar NKRI berdasarkan Pancasila yang bersendikan Bhineka Tunggal Ika. Santri sanggup berdiri di garda sebagai benteng NKRI. Berikut kami jelaskan; 1936, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai Dârus Salâm merupakan legitimasi fiqih berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila, tahun 1945, kaum santri setuju menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan dan kesatuan bangsa. Tahun 1953, kaum santri memberi gelar Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah, (Pemimpin sah yang harus ditaati) kepada Presiden Indonesia pertama, Ir. Soekarno. tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme. Tahun 1983/1984, menjadi pelopor penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI sudah final sebagai konsensus nasional, mu’âhadah wathaniyyah.
Selepas reformasi, kaum santri menjadi bandul kekuataan moderat sehingga perubahan konstitusi tidak melenceng dari khittah 1945 bahwa NKRI adalah negara-bangsa—bukan negara agama, bukan negara suku—yang mengakui seluruh warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan. Sehingga akhirnya, merujuk pada Resolusi Jihad dan hasil musyawarah dari kalangan ulama dan ormas islam, pada tanggal 22 Oktober 2015 Presiden Jokowi menetapkan tanggal tersebut sebagai hari santri nasional dengan Keputusan Presiden nomor 22/2015.
Peringatan hari santri di Probolinggo ada yang digelar di halaman Eks Pemkab malam (21/10) dengan pembacaan Surat Yasin Tahlil, Istighosah dengan diakhiri Sholawat Nariyah, di beberapa madrasah dan pondok pesantren juga mengalir kegiatan yang sama, seperti PP. Kamalkuning, PP. Zainul Hasan Genggong, PP. Nurul Jadid Paiton serta pondok-pondok yang lain. Sholawat Nariyah juga menggema di kalangan siswa MIN 1-2, MTs.N1-2, MAN 1-2 Probolinggo menggelar pembacaan Sholawat Nariyah (21/10) dan Upacara (22/10) dan dimungkinkan masih banyak yang lain yang tidak sempat terpantau media.
Pelaksanaan HSN di pesantren Nurul Jadid Paiton diikuti sekitar 12.297 dari 18 pondok pesantren se kabupaten Probolinggo. Kakanwil Kemenag Jatim Bapak Drs. H. Syamsul Bahri, M.Pd berkenan hadir di pesantren Nurul Jadid yang beliau tercatat sebagai alumni di besar yang diasuh KH. Zuhri Zaini tersebut. Selain Kakanwil hadir pula Ketua DPRD Jatim, Abdul Halim Iskandar; Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI, Abdul Malik Haramain, Ketua Komisi C DPRD Jatim, Thoriqul Haq, Anisah Sakur, Haikal Atiq Zamzani dan sejumlah kiai turut menikmati sajian nasi tabheg (makanan khas pesantren) sejumlah 1025 bersama KH. M. Zuhri Zaini; Kepala Pesantren, KH. Abdul Hamid Wahid dengan ribuan santri hingga memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) yang sertifikatnya diserahkan oleh Senior Manager MURI, Sri Widiyati kepada Pesantren Nurul Jadid dan IPNU Jatim sebagai penyelenggara.
“Dengan acara ini, kita diajak untuk kembali ke budaya pesantren. Gak terasa meski terik matahari, karena kita bisa kumpul dan makan bersama para santri se-Jatim, meski tidak saling kenal. Inilah yang membuat kita bangga luar biasa. Saya berharap acara semacam ini akan digelar setiap tahunnya, apa lagi ponpes Nurul Jadid ini telah mencatat Rekor MURI dunia,” tutur Zaskia, usai makan nasi tabheg bersama.
Kegiatan ini menurut Kepala Kepesantrenan Nurul Jadid KH. Abdul Hamid Wahid “Bertujuan untuk meneguhkan dan mengokohkan kembali kemandirian santri dan pondok pesantren serta diharapkan bisa berkontribusi untuk kemajuan bangsa. “Dalam sejarahnya, santri telah memberikan kontribusi berharga terhadap bangsa dan negera. Ke depan dengan tantangan berbeda dan barang kali perlu reaktualisasi. Hal itu yang selalu kita inginkan dan kita teguhkan kembali,” ujarnya. (Ansori).
0 Komentar